NUSANEWS.COM || BANTUL - Minggu (30/11/25). Menjadi enkulturasi kedua di Gereje Paroki Santo Mikael Pangkalan-Adisutjipto dalam rangka Misa Mingguan Berbahasa Jawa dengan Iringan Gamelan dan Tarian.
Satu-satunya Gereja Katolik di Lingkup Militer Yogyakarta ini berupaya untuk tetap nguri-nguri kabudayan Jawa. Gereja Santo Mikael Pangkalan berada di dalam Kompleks TNI AU Adisutjipto, tepatnya di Jalan Lettu TPT Sapardal, Lanud Adisutjipto.
Ide perayaan Ekaristi dengan bahasa Jawa dengan diiringi gamelan ini tercetus sejak 2022 Rama Martinus Joko Lelono, Pr. Sesungguhnya, jauh sebelum pandemi, gereja ini sudah pernah menyelenggarakan misa dengan iringian gamelan, tetapi menggunakan bahasa Indonesia. Kala itu gereja dipimpin oleh Rama Yos Bintoro, Pr. Sejak 2022—2024, perayaan Ekaristi bahasa Jawa ini hanya diiringi oleh gamelan dewasa (Ngesthi Pada). Namun, di tahun 2025 ini, perayaan Ekaristi bahasa Jawa diiringi oleh gamelan dewasa (Ngesthi Pada) dan juga gamelan anak yang lahir kembali sejak mati suri pada tahun 2012, dengan tarian pengiring oleh anak-anak.
Hal ini menggambarkan implementasi kebudayaan (Jawa) dalam keagamaan pun dalam lingkup militer. Kebudayaan dalam keagamaan menjadi salah satu upaya untuk melestarikan nilai-nilai luhur suatu budaya dalam ritual keagamaan.
Nilai-nilai luhur yang dapat diinternalisasi dalam ritual keagamaan.
Nilai-nilai luhur dalam gamelan, antara lain: nilai sosial dan kebersamaan; nilai moral dan etika; nilai spiritual dan religious; nilai estetika; nilai pendidikan karakter; dan nilai kepemimpinan. Adapun, nilai-nilai luhur dalam tarian persembahan yang diiringi oleh musik gamelan, antara lain: nilai penghormatan dan kerahaman; kesantunan dan adab sopan; ketulusan dan kebersamaan; disiplin dan kesabaran; simbol persatuan dan doa keberkahan; serta koneksi manusia dengan semesta. Selain itu, nilai-nilau luhur dalam bahasa Jawa, antara lain: pitutur luhur (nasihan dan ajaran mulia); budi luhur (sifat atau pekerti yang mulia/andhap asor (rendah hati)); dan hasthalaku.
Hasthalaku itu sendiri memiliki arti delapan nilai budaya Jawa. Kedelapan nilai itu adalah gotong royong (tolong-menolong), guyub rukun (hidup rukun), grapyak semanak (ramah), lembah manah (rendah hati), ewuh pekewuh (saling menghormati/sopan santun), pengerten (saling menghargai), andhap asor (berbudi luhur), dan tepo seliro (tenggang rasa).
Nilai dalam bahasa Jawa sendiri jika dimaknai mendalam akan membuat relasi antarumat menjadi jauh lebih nyaman, harmonis, dan sinergis.
Bukan hanya nilai-nilai luhur, melainkan juga menerapkan nilai-nilai dalam sila Pancasila, yaitu: sila ketiga, Persatuan Indonesia. Hal ini terwujud dengan penggunaan Gagrak Jawa oleh para petugas, yaitu: niyaga dewasa (Ngesthi Pada), niyaga anak, petugas lektor, dan pemazmur. Bukan hanya penggunaan Gagrak Jawa, melainkan juga penggunaan bahasa Jawa dalam alur liturgi dari Ritus Pembuka sampai Ritus Penutup. Walaupun sesekali ketika homili, rama (pemimpin Ekaristi) menyelipkan bahasa Indonesia untuk membantu umat yang belum memahami arti dalam bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan empati dan humanis dalam rangkaian Ekaristi. Kolaborasi dengan para penari cilik yang mengiringi arakan masuk petugas liturgi dan pembawa persembahan menambah kekhusyukan dan keharmonisan dalam gemulai lentik anak-anak.
“Nilai Jawa “nyengkuyung” orang tua juga dapat dirasakan dalam proses liturgi pada perayaan Ekartisti ini. Hal ini terlihat dari niyaga anak-anak dapat mengiringi para anggota kor yang notabene para ibu dan bapak dengan tujuan bersama, yaitu: terwujudnya perayaan Ekaristi yang lancar, baik, khidmat, dan syahdu”, kata Erika (Koordinator Gamelan Gereja). Ternyata, ada anggota niyaga dewasa (Ngesthi Pada) yang juga seorang anak, tetapi usia mereka tidak masuk usia gamelan anak. Hal ini menggambarkan kebersamaan yang sinergis dan harmonis antara anak muda dan orang tua.
Keindahan budaya dalam Ekaristi ini dipercantik dengan adanya para penari cilik yang dengan semangat mempersembahkan diri dalam wujud tarian sederhana yang memukau. Hal ini dapat menumbuhkan cinta budaya sendiri (dalam hal ini: tari dan kostum budaya) yang dapat diusung dalam Ekaristi. Artinya, tarian tidak hanya sebagai tontonan di luar liturgi, tetapi dapat dikolaborasikan dalam perayaan Ekaristi dengan penyesuaian alur agar tidak mengganggu proses liturgi Ekaristi.
“Hal yang unik dalam enkulturasi Ekaristi kali ini adalah ada dua lagu (Persembahan ‘Atur Pisungsung’ dan Bapa Kami), diberi sentuhan budaya Sunda yang dipersembahan oleh niyaga dewasa (Ngesthi Pada). Selain itu, dalam lagu Penutup ‘Gusti Jeksa Kawula’ diberi sentuhan budaya Bali yang dipersembahkan oleh niyaga anak”, ungkap Erika.
Keanekaragaman yang disatukan dalam rangkaian Ekaristi ini semakin menambah kekayaan dan kecintaan akan budaya Indonesia.
“Harapan dari perayaan Ekaristi enkulturasi ini agar semua umat dapat terbantu dalam meningkatkan kekusyukan dalam berdoa, jauh lebih dalam merasakan kehadiran Tuhan, dan terus mencintai budaya Jawa”, ungkap Erika.
Nn.( Cicilia).

Social Header