NUSA NEWS.COM || IAKARTA, Pada masa sebelum dikumandangkan nya kemerdekaan Indonesia, lewat satu kelompok yang bernama PPKI ada tiga anak bangsa yang cerdas dan menjadi tokoh bangsa Indonesia hingga kini yaitu ; Ir. Soekarno, M Yamin dan Soepomo terbentuklah lima sila sebagai dasar acuan berbangsa dan bernegara yang hingga detik ini, yaitu PANCASILA. Pancasila menjadi satu prasasti dan tolok ukur peradaban Bangsa Indonesia yang selalu harus ditanamkan di semua lapisan rakyat Indonesia dimasa kini, masa yang akan datang dan hingga dunia ini berakhir.
Nusantara memiliki kekayaan budaya yang berbudi pekerti luhur serta memiliki nilai – nilai kehidupan yang tinggi dan menjadi dasar berdirinya bangsa Indonesia serta sebagai dasar kemajuan Bangsa ini dimasa – masa yang akan datang.
Merekonstruksi sebuah konstruksi pemikiran dari perjalanan sejarah sebuah bangsa, adalah sesuatu yang sangat menarik dan menantang. Kita akan terprovokasi dengan gagasan-gagasan baru, bagaimana membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Kekuatan gagasan, yang kerapkali sebenarnya sederhana saja sepanjang mengikuti garis logika – membuka pikiran, membuka pintu bagi trouble shooting. Pemecahan masalah, seringkali terjadi dengan cara dan pikiran sederhana.
Ada kalanya sebuah pemikiran tidak terformulasi secara sekaligus dalam satu masa, melainkan terkadang terserak-serak dalam moment-moment yang tidak beraturan dan sering kali, bahkan muncul secara sporadic, tidak terencana.
Kembali pada tujuan kita dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, disadari atau tidak, kita telah abai terhadap perjuangan para leluhur pendahulu kita, pendiri republik ini.
Ruh dalam hidup berbangsa dan bernegara nyaris hilang, hanya tinggal sisa-sisa bayangan tanpa makna.
Manakala kita abai dan melupakan sejarah, maka kita akan kehilangan kompas hendak kemana kita menuju. Ini berlaku tidak hanya pada diri kita selaku individu, namun apalagi sebagai bangsa, aspek sejarah dan kesejarahan menjadi sangat penting dan mutlak dibutuhkan dalam mencari sandaran dan pegangan di kala kita merasa telah kehilangan pegangan atau kehilangan orientasi ketika kita menghadapi berbagai masalah yang menyentuh dan mengoyak kesadaran kita sebagai bangsa.
Indonesia, adalah sebuah bangsa dan Negara yang besar yang telah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang, bahkan ribuan tahun yang lalu, eksistensi manusia yang menempati gugusan pulau di antara ( Nusa – antara, Nusantara ) dan benua ( Asia dan Australia ) dan dua Samudera ( Hindia dan Pasifik ), sudah eksis dan telah melahirkan peradaban yang sangat besar.
Kebesaran kita, sebagai sebuah bangsa, kini mulai dipertanyakan kembali. Hal ini terlihat, dengan mulai lunturnya nasionalisme kita, memudarnya komitmen kebangsaan kita.
Dan rasa senasib, sepenanggungan kita dalam rumah besar Indonesia, mulai terkoyak. Sebagai anak bangsa, kita nyaris tidak percaya kepada kekuatan diri sebagai suatua bangsa, kita seakan tidak dapat berdiri sebagai bangsa yang merdeka.
Kita seperti berada dalam sebuah ruang yang gelap gulita. Berada dalam sebuah ruang gelap, cenderung menghadirkan rasa bingung, bahkan kepanikan.
Tanpa pengenalan ruang, orang sulit, bahkan mungkin tak kan tahu apa yang harus dilakukan di dalam kegelapan itu.
Namun, begitu ada yang menemukan tombol penerangan, menyalakan lampu, efek cahaya akan memicu pemikiran, inspirasi dan kreatifitas mengenai apa yang harus dilakukan.
Analoginya, bila di atengah kekalutan situasi dalam kehidupan, tiba-tiba ada yang berfikir jernih dan menyampaikan gagasan-gagasan, pintu solusi akan terbuka. Inilah the power of idea.
Gagasan adalah cahaya yang akan menembus kegelapan.
Pentingnya kita merekonstruksi kembali komitmen kebangsaan kita, jangan larut menjadi generasi yang durhaka. Negeri ini, diamanahkan oleh Tuhan, melalui leluhur kita pendiri bangsa ini, untuk kita, untuk anak cucu kita, dan generasi-generasi setelahnya.
Oleh karena itu kita perlu merawat kebangsaan ini. Kita adalah negara yang sangat unik, terdiri dari keberagaman dan keberagaman itu merupakan satu kekayaan bagi kita.
Indonesia memiliki banyak keragaman, di antaranya ratusan suku, agama, dan bahasa lokal.
Keragaman itu bisa tetap membuat Indonesia bersatu sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kendati demikian, bangsa Indonesia tetap perlu waspada karena perbedaan itu juga mengandung potensi konflik, yang dapat berujung pada perpecahan.
Oleh karena itu, pentingnya masyarakat mengedepankan nilai-nilai dan kepentingan bersama menjalani hidup dalam satu bangsa.
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, budaya, dan bahasa sudah sejak dulu memiliki sikap saling menghormati. Hal itu telah terbukti dengan kelahiran Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Namun saat ini bangsa Indonesia sedang diuji kedewasaan dan keragamannya dengan maraknya kasus intoleransi dan berbagai kasus SARA.
Salah satu perekat nasionalisme adalah kebhinekaan. Sayang semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diagungkan dan digaungkan sejak dahulu oleh para pendiri bangsa, tampaknya mulai tidak dipahami dan hanya sebatas ucapan.
Dalam konteks Indonesia, sebagai salah satu representasi keberagaman mayarakat dapat dilihat pada proses dan dampak dari berbagai gejolak sosiokultural dan politik yang terjadi.
Adanya konflik sektoral dan horizontal mengancam cita-cita kebhinekaan, dan keberagaman bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia harus memahami keberagaman yang ada dan harus merawatnya, yaitu dengan mempunyai sikap egaliter dan toleran. Karena negara Indonesia adalah negara yang plural, sudah sepantasnya masyarakat Indonesia menjaga keutuhan NKRI.
Adapun upaya menyelesaikan permasalahan keberagaman dapat dilakukan dengan menjunjung tinggi Pancasila dan merealisasikan nilai-nilainya. Dengan demikian, sikap saling menghargai, egaliter, dan toleran harus dimiliki seluruh warga Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara memiliki kedudukan tertinggi. Pancasila dibuat oleh pendiri bangsa Indonesia dengan penuh kehati-hatian memperhatikan baik buruknya.
Para pendiri bangsa Indonesia tentunya tidak sembarang dalam membuat dasar negara.
Negara ini, Republik Indonesia, bukan milik kelompok mana pun, tidak juga milik agama apa pun, ataupun kelompok etnis, bukan milik kelompokmu dengan budaya atau tradisi, tetapi milik kita dari Sabang sampai Merauke
Manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan.
Kalau bangsa kita, Indonesia walaupun bambu runcing, saudara-saudara, semua siap sedia mati mempertahankan tanah air Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap sedia masak untuk merdeka.
( Ketua Umum DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia)
0 Komentar